Wednesday, April 9, 2014

“SANG ARSITEK SOSIAL” (Leadership Legacy – Lee Kuan Yew, Singapore Ex-Prime Minister)


Dari semua kemampuan dan kehebatan Lee Kuan Yew, yang mampu mengantar Singapura menjadi salah satu Negara terkaya, ada begitu banyak pelajaran berharga yang bisa kita teladani. Terutama dalam beberapa hal sebagai berikut:
Suatu kali Lee mengatakan, bahwa sebagai seorang pemimpin, dirinya lebih suka ditakuti daripada disayangi oleh rakyatnya. Pengakuan ini merupakan ekspresi dari suatu pilihan sikap yang sangat krusial sekaligus tepat , dalam konteks negaranya pada saat itu. Bisa dibayangkan akan seperti apa jadinya seandainya ia sering terombang-ambing di antara keinginan untuk DISAYANGI atau DITAKUTI. Sudah tentu, laju perkembangan negaranya akan tersendat oleh karena banyaknya waktu yang terbuang untuk sekedar lobi dan pembangunan opini. Kearifan yang bisa kita tarik dari sini adalah seorang pemimpin tak semestinya bimbang selama ia meyakini tujuan akhir yang ingin dicapainya. Karena dari tujuan tersebut ia bisa menimbang sikap mana yang paling mendukung tercapainya tujuan. Apakah partisipatif, otokratis, atau kombinasi keduanya.

Kepemimpinan Lee sangat menginspirasi pada saat ia melibatkan dua tangan sekaligus; yaitu tangan pemikir (thinker) dan tangan pelaku (doer). Mengingat di beberapa organisasi, seringkali seorang pemimpin terperangkap dalam sudut pandang yang sangat dikotomis. Yaitu, lebih menyukai para pelaku saja, sementara menganggap para pemikir hanya bisa berwacana. Kadang kala mereka lebih condong ke para pemikir, dengan menganggap para pelaku sebagai robot pelaksana. Pandangan yang agak naïf seperti itu kurang menguntungkan bagi si pemimpin sendiri, karena ibarat “kepala” dan “tangan”, tentu kedua-duanya sangat kita perlukan. Di atas itu semua, Lee Kuan Yew adalah seorang “arsitek sosial” yang piawai dalam membangun corak budaya yang akan menjadi identitas masyarakat yang dipimpinnya. Sehingga dengannya, seluruh masyarakat yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda bisa “diikat” ke dalam satu persepsi dan cita-cita yang sama. Dan ini merupakan prasyarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin agar ia dapat menjalankan rencana-rencana berikutnya.

Singkatnya, semua jalan yang relevan menuju tercapainya tujuan ia terapkan, terlepas orang lain akan suka atau hanya terpaksa. Mungkin kalau meminjam istilah Deng Xiaoping, “Tak peduli kucing hitam atau kucing putih, asalkan dia bisa menangkap tikus”. Sehingga dalam hal ini, “menangkap tikus” atau tercapainya tujuan lah yang menjadi pertimbangan utamanya, ketimbang sibuk mempersoalkan hitam atau putihnya pro dan kontra.

No comments:

Post a Comment