Tuesday, September 30, 2014

Cukuplah Allah sebagai Penolong




Allah Swt berfirman, “Hasbunallah wani’mal wakil (Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik tempat bersandar)". (QS. Ali'Imran [3]:173)

Sahabatku, setelah kita mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi, bersikap ridha pada apa yang terjadi, tidak mempersulit diri, dan mengevaluasi diri atas setiap peristiwa yang kita alami, maka sikap selanjutnya adalah kita kuatkan keyakinan bahwasanya hanya Allah Swt penolong kita.

Seberat apapun peristiwa yang menimpa kita, jika kita meyakini dengan sepenuh hati bahwasanya Allah Swt. Dzat yang Maha Memiliki dan Dia-lah Yang Maha Menghendaki, niscaya kita akan bisa menghadapi dengan baik. Seandainya seluruh jin dan manusia bersekutu untuk mencelakai kita, jika Allah Swt tidak menghendakinya, maka tidak akan terjadi apa-apa terhadap diri kita.

Kesengsaraan kita adalah apabila kita terlalu banyak berharap kepada makhluk dan terlalu banyak takut terhadap makhluk. Karena bila harapan kita kepada makhluk terlalu besar dan tidak banyak yang bisa terpenuhi, akibatnya kita akan menjadi manusia yang mengemis dan menjilat demi terpenuhinya keinginan kita.

Tidak jarang kita temui orang yang telah melakukan usaha sedemikian rupa, namun sayangnya ia justru malah masih percaya kepada jimat atau mantra yang diberikan ‘orang pintar’ kepadanya. Padahal ia telah menyatakan keimanannya kepada Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt, “Dan sebagian besar dari mereka itu beriman pada Allah, hanya saja merekapun berbuat syirik kepada-Nya”.(QS. Yusuf [12]:106).

Jika demikian yang terjadi, maka sungguh sia-sialah segala apa yang telah diupayakannya. Sia-sialah pula keimanan yang telah dinyatakannya karena ia terjerumus pada kemusyrikan.

Demikian juga apabila kita terlalu besar rasa takut terhadap makhluk, maka kita akan menyembah-nyembah dan tunduk kepadanya. Padahal, hanya Allah Swt, Dzat Yang Maha Agung dan pantas untuk ditakuti. Allah Swt Yang Maha Menguasai segalanya.

Sepelik apapun masalah yang kita hadapi, pasti Allah Swt sudah Maha Tahu akan masalah kita sekaligus jalan keluarnya. Oleh karena itu, janji Allah Swt yang harus menjadi pegangan kita. Allah Swt berfirman, ”Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan, memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan, barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”.(QS. At Thalaq [65] :2-3).

Maka, janganlah ada rasa pesimis saat kita ditimpa suatu peristiwa yang tidak kita kehendaki atau yang menyulitkan kita. Karena sesunguhnya rasa bingung, takut, menderita, itu adalah karena ketidaktahuan kita tentang cara Allah Swt memberikan jalan keluar bagi kita. Ketika kita ditimpa suatu kepelikan masalah keuangan, sesungguhnya Allah Swt akan mendatangkan rezeki-Nya kepada kita dari jalan dan cara yang tidak kita sangka sebelumnya.

Hal ini akan terjadi apabila kita menjadi hamba yang bertakwa kepada-Nya, bersungguh-sungguh dalam berusaha dan memasrahkan hasil segala upaya kita hanya kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam ayat di atas,”Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)”. Oleh karenanya, dalam urusan ekonomi misalnya, tidak perlulah kita meminta untuk dijadikan manusia yang kaya raya.

Mintalah kepada Allah Swt agar rezeki kita dicukupkan. Berkecukupan itu lebih bermakna dari sekedar kaya raya. Karena kaya raya belum tentu berkecukupan. Betapa banyak manusia yang bergelimang harta kekayaan akan tetapi frutasi karena masih saja kekayaannya itu tidak mencukupi segala keinginan. Semoga Allah Swt mencukupkan rezeki kita sesuai dengan apa yang kita butuhkan.

Saudaraku, kehidupan ini memang selalu ada suka dan duka, sedih dan gembira. Begitu seterusnya silih berganti. Apa yang menjadi masalah bukanlah pergantian siklus tersebut, melainkan cara kita menghadapi atau menyikapi siklus itu.

Jika kita bisa menyikapinya dengan baik, maka kehidupan yang sedang kita jalani ini akan menjadi kesempatan yang selalu terbuka untuk kita terus-menerus memperbaiki diri, menambah wawasan, menambah ilmu, menguatkan keimanan, dan menyongsong kehidupan abadi di akhirat yang dipenuhi kebahagiaan.

Jadi, segala persoalan hidup yang kita temui di dunia merupakan kesempatan emas yang diberikan Allah Swt kepada kita untuk mengangkat kemuliaan kita, meninggikan derajat kita dan membahagiakan kita. Cukuplah Allah Swt sebagai penolong dan pelindung kita.Wallahu a’lam bishawab.

Sumber: Aa Gym

Sunday, September 28, 2014

MEMAHAMI MAKNA IDUL ADHA



Bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.

Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.
Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail.
Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Legenda mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat 102-109.
Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.
Dari berbagai media, kita bisa melihat betapa budaya korupsi masih merajalela. Demi menumpuk kekayaan rela menanggalkan ”baju” ketakwaan. Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan telah banyak yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul Adha, mari kita teladani sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan taat terhadap ajaran agama.
Di samping itu, ada pelajaran berharga lain yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah menyembelih Nabi Ismail ini pada akhirnya digantikan seekor domba. Pesan tersirat dari adegan ini adalah ajaran Islam yang begitu menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.
Hal ini senada dengan apa yang digaungkan Imam Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqot. Menurut Syatibi, satu diantara nilai universal Islam (maqoshid al syari’ah) adalah agama menjaga hak hidup (hifdzu al nafs). Begitu pula dalam ranah fikih, agama mensyari’atkan qishosh, larangan pembunuhan dll. Hal ini mempertegas bahwa Islam benar-benar melindungi hak hidup manusia. (hlm.220 )     
 Nabi Ismail rela mengorbankan dirinya tak lain hanyalah demi mentaati perintahNya. Berbeda dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri. Apakah pengorbanan yang mereka lakukan benar-benar memenuhi perintah Tuhan demi kejayaan Islam atau justru sebaliknya?.
Para teroris dan pelaku bom bunuh diri jelas tidak sesuai dengan nilai universal Islam. Islam menjaga  hak untuk hidup, sementara mereka—dengan aksi bom bunuh diri— justru mencelakakan  dirinya sendiri. Di samping itu, mereka juga membunuh rakyat sipil tak bersalah, banyak korban tak berdosa berjatuhan. Lebih parah lagi, mereka  bukan membuat Islam berwibawa di mata dunia, melainkan menjadikan Islam sebagai agama yang menakutkan, agama pedang dan sarang kekerasan. Akibat aksi nekat mereka ini justru menjadikan Islam laksana ”raksasa” kanibal yang haus darah manusia.
Imam Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin pernah menjelaskan tentang tata cara melakukan amar ma’ruf nahi munkar.  Menurutnya, tindakan dalam bentuk aksi pengrusakan, penghancuran tempat kemaksiatan adalah wewenang negara atau badan yang mendapatkan legalitas negara. Tindakan yang dilakukan Islam garis keras dalam hal ini jelas tidak prosedural. (vol.2 hlm.311)  
Sudah semestinya dalam melakukan amar makruf nahi munkar tidak sampai menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Bukankah tindakan para teroris dan pelaku bom bunuh diri ini justru merugikan terhadap Islam itu sendiri ?. Merusak citra Islam yang semestinya mengajarkan kedamaian dan rahmatan lil ’alamin. Ajaran Islam yang bersifat humanis, memahami pluralitas dan menghargai kemajemukan semakin tak bermakna.
Semoga dengan peristiwa eksekusi mati Amrozi cs, mati pula radikalisme Islam, terkubur pula Islam yang berwajah seram. Pengorbanan Nabi Ismail yang begitu tulus menjalankan perintahNya jelas berbeda dengan pengorbanan para teroris.
Di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan  terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.
Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha.
Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Selamat berhari raya !

Sumber : http://www.pesantrenvirtual.com