Mina
adalah lokasi di Tanah Haram yang didatangi oleh jamaah haji pada
tanggal 8 Dzul Hijjah atau sehari sebelum pelaksanaan Wukuf di Arafah.
Mereka tinggal di sini sehari dan semalam penuh sehingga dapat
melaksanakan shalat Dzuhur. Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh. Kemudian,
setelah shalat Subuh tanggal 9 Dzul Hijjah mereka berangkat ke Arafah.
Amalan ini seperti yang dilakukan Rasul Allah ketika beliau beliau
berhaji dan hukumnya sunnah. Mereka masuk ke Mina lagi dan tinggal di
sini setelah Wukuf di Arafah sampai tanggal 12 atau 13 Dzul Hijjah.
Keperluan
mereka di sini setelah Wukuf di Arafah adalah untuk bermalam di malam
hari dan melempar Jumrah pada siang hari yaitu tanggal 10, 11, 12 Dzul
Hijjah untuk mereka yang ber-Nafar Awal, dan tanggal 10, 11, 12, dan 13
Dzul Hijjah bagi mereka yang ber-Nafar Tsani. Dua amalan ini (bermalam
dan melempar Jumrah) adalah termasuk amalan Wajib Haji.
Kalau
diartikan secara harfiah, Mina berarti tempat tumpahan darah binatang
yang disembelih. Ini sesuai dengan kenyataan yang berlaku bahwa di
daerah ini setiap tahun disembelih sekitar satu juta ekor binatang yang
terdiri dari unta, sapi, dan kambing. Maka, kawasan 9 km di sebelah
timur Masjidil Haram ini diberi nama Mina.
Kawasan
ini pada hari-hari biasa kosong tidak berpenduduk walaupun tampak
banyak bangunan permanen. Namun pada setiap tanggal 10 Dzul Hijjah dan
beberapa hari sebelum dan sesudahnya pasti dipadati tidak kurang dari
dua juta orang jamaah Haji dan lainnya.
Kawasan
ini sebetulnya tidak luas, hanya panjangnya dari arah Makkah dibatasi
Jumrah Aqabah dan dari arah Arafah dibatasi Wadi Muhasir yang mana
dikedua tempat itu oleh pemerintah Arab Saudi ditandai dengan petunjuk
yang ditulis dengan berbagai bahasa jaraknya sekitar 3,5 Km. Adapun
lebarnya dibatasi oleh dua buah bukit yang berhadap-hadapan yang berarti
di balik kedua bukit itu adalah di luar Mina. Namun menurut fatwa Ketua
Majelis Ulama Arab Saudi, daerah Mu’aisim adalah masuk kawasan Mina.
Wallahu A’lam.
Mina
termasuk tempat ibadah sebagaimana Arafah, karena tidak sah hukumnya
bermalam di luar Mina sebagaimana tidak sah Wukuf di luar Arafah. Jadi
sebenarnya tanah di sini tidak boleh dimiliki perorangan sebagaimana
Masjid, dan yang boleh adalah menempati untuk keperluan ibadah dalam
masa ibadah saja. Sesuai dengan riwayat Aisyah, istri Nabi, “Ya Rasul
Allah, perlukah kami buatkan rumah di Mina untuk Anda berteduh?”. Rasul
menjawab, “Jangan! Sesungguhnya Mina adalah tempat duduk orang yang
lebih dulu datang”.
Melihat
larangan Nabi di atas, maka masyarakat mendukung rencana Raja Fahd yang
meratakan Mina kemudian membangun semacam bangsal raksasa beberapa
floor memanjang di sebelah kiri dan kanan Jumrah yang dilengkapi dengan
segala sarana termasuk, air, listrik, telepon, restoran, poliklinik,
Escalator, dan AC. Di bagian atas ditutup dengan roofing tenda raksasa
seperti di terminal haji airport Jeddah. Bangunan ini direncanakan dapat
menampung 4 juta orang.
TEMPAT-TEMPAT PENTING DI MINA
1. Jamarat (Jumrah Aqabah, Jumrah Wusta, Jumrah Ula)
2. Al-Manhar (Jabal Qurban), lokasi penyembelihan binatang qurban
3. Masjid Al-Khaif. Lokasi Nabi Muhammad SAW melakukan shalat dan khotbah ketika berada di Mina sewaktu haji
4. Masjid Al-Baiah. Lokasi Nabi Muhammad SAW dibaiat oleh orang-orang Anshor yang datang dari Madinah 1 tahun sebelum hijrah.
KEISTIMEWAAN MINA
1. Kawasan
ini pada hari-hari biasa tampak sempit dan menjadi luas secara otomatis
sehingga dapat menampung berjuta-juta orang, hal ini sesuai dengan
ucapan Rasul Allah SAW, “Sesungguhnya Mina itu seperti rahim, yang mana
ketika terjadi kehamilan, diluaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala”.
Maka sudah semestinya kita tidak perlu khawatir tidak dapat tempat di
Mina pada waktu haji.
2. Batu
kerikil yang dilontarkan waktu Jumrah adalah diangkat oleh Malaikat ke
langit bagi batu yang dilontarkan oleh jamaah haji yang hajinya diterima
oleh Allah SWT. Dan batu yang dilontar oleh mereka yang hajinya tidak
diterima, dibiarkan menetap di sekitar Jumrah yang akhirnya dibersihkan
oleh petugas kebersihan.
Hal
ini sesuai dengan ucapan Abdullah Ibnu Umar salah seorang sahabat Nabi
yang sangat alim, “Demi Allah, sesungguhnya Allah mengangkat ke langit
batu yang dilontarkan ke Jumrah oleh mereka yang hajinya diterima
oleh-NYA”. Dalam kita Syifa’ Al-Gharam diterangkan bahwa Syeikh
Abu Nu’man Al-Tabrizi yaitu Mufti Masjidil Haram pada zamannya pernah
dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan betapa batu-batu itu
berterbangan naik ke atas kearah langit.
Sudah
banyak ahli-ahli riset melakukan penelitian tentang batu ini, dan
mereka berkesimpulan rata-rata setengah dari jumlah batu yang dilempar
ke Jumrah tidak ditemukan lagi.
Penulis
sempat menangis di dekat Jumrah Aqabah, ketika selesai mengadakan riset
tentang jumlah batu ini yang berkesimpulan bahwa batu yang diambil
petugas kebersihan adalah lebih setengah jumlah batu yang dilempar
jemaah haji, berarti yang diterima oleh Allah SWT tidak ada setengahnya
dari seluruh jamaah haji yang melontar Jumrah. Penulis merenung dan
menerawang penuh tanda tanya apakah batu yang aku lempar termasuk batu
yang ada di depanku…?, yang sedang dikeruk dan dinaikkan ke atas truck
untuk dibuang seperti sampah…?., dan mengapa Allah hanya menerima
sebagian kecil dari hambanya yang sudah jauh-jauh dating ke sini segala
kesulitan dan ketabahan agar dapat diterima dalam memenuhi
pangilan-NYA..?. Apakah ini semua karena sebagian besar jamaah tidak
mengindahkan peraturan ibadahnya sehingga mereka hanya melakukan
amalan-amalan yang sesuai dengan rasionya dan sifat kemalasannya…?,
ataukah ini hanya peringatan untuk-ku agar lebih mendekatkan diri
pada-NYA..?.
Jadi
kenyataan yang dihadapkan pada penulis pada saat itu adalah merupakan
hal yang tidak masuk akal penulis kecuali kemudian penulis yakin bahwa
batu-batu itu memang sebagian dibawa oleh para Malaikat ke langit sesuai
dengan perintah Allah SWT.
ICMI Orsat Madinah
No comments:
Post a Comment