Monday, September 23, 2013

Hajjar Aswad


Hajar Aswad adalah batu berwarna hitam yang berada disudut tenggara Ka’bah, dilingkari besi putih yang diikat dengan timah, terletak kira-kira setinggi satu setengah meter dari permukaan lantai Masjid. Dari sudut inilah putaran Thawaf dimulai dan diakhiri, dan kalau keadaan memungkinkan, setiap mulai putaran, disunnahkan mencium atau menyalami atau mengusap dengan tangan kanan pada Hajar Aswad ini, dan kalau tidak mungkin, disunnahkan melambaikan tangan kanan seolah-olah memberi isyarat menyalami.
 
Mencium Hajar Aswad di luar waktu Thawaf juga disunnahkan dengan niat mengikuti petunjuk Nabi. Dalam salah satu riwayat Nabi pernah bersabda; “Nanti pada hari kiamat, Hajar Aswad akan tampak memiliki mulut dan menyatakan atau menyaksikan siapa-siapa yang pernah mencium atau menyalami dia dengan niat baik”. Dalam salah satu riwayat Bukhari Muslim, diterangkan bahwa Sayyidina Umar (Kalifah II) sebelum mencium Hajar Aswad mengatakan, “Demi Allah, aku tahu bahwa kau adalah sebuah batu yang tidak dapat berbuat apa-apa, kalau aku tidak melihat Nabi Rasul Allah mencium-mu tidak akan aku mencium-mu”. Jadi mencium Hajar Aswad ini bukanlah suatu kewajiban bagi umat Islam, tetapi merupakan anjuran dan sunnah hukumnya, maka kalau keadaan tidak memungkinkan karena penuhnya orang berdesakan, sebaiknya anda urungkan saja niat anda mencium atau mengusap batu itu dan gantilah dengan menyalami (istilam) dari jauh. Karena sudah banyak kasus kecelakaan (terinjak-injak) di sekitar tempat ini.

Menurut sejarahnya, batu ini ketika diturunkan dari Sorga, berwarna putih mengkilap kemudian karena kedurhakaan anak-anak Adam, batu ini makin hitam dan makin hitam. Sejarah batu ini sangat panjang sepanjang sejarah Ka’bah. Salah satu peristiwa penting yang berkenaan dengan batu ini adalah yang terjadi pada tahun 16 sebelum Hijrah ( 606 M), yaitu ketika suku Quraisy melakukan pemugaran Ka’bah. Pada saat itu hampir saja terjadi pertumpahan darah yang hebat karena ada empat kabilah dalam suku Quraisy sudah saling bersitegang mempertahankan pendapat masing-masing dalam perselisihan tentang siapa yang berhak mengangkat dan meletakkan batu ini pada tempatnya setelah pemugaran Ka’bah selesai.
Selama lima hari lima malam mereka dalam situasi gawat, akhirnya munculah usul dari Abu Umayyah bin Mughirah Al-Makhzumi yang mengatakan, “Alangkah baiknya kalau keputusan ini kita serahkan kepada orang yang pertama kali masuk masjid pada hari ini”. Karena Abu Umayyah orang tertua di antara orang-orang Quraisy, maka pendapatnya disepakati. Ternyata orang yang pertama kali masuk masjid pada hari itu adalah Muhammad bin Abdullah (35 tahun) yaitu Nabi Muhammad sebelum menjadi Nabi yang pada saat itu sudah bergelar Al-Amin (orang yang terpercaya) karena beliau tidak pernah bohong dan tidak pernah ingkar janji, hal ini sudah menjadi rahasia umum dan seluruh penduduk Makkah mengakuinya. Maka mereka langsung minta kepada beliau untuk mengambil keputusan tentang pertikaian yang berbahaya ini. Kemudian Muhammad bin Abdullah menuju tempat penyimpanan batu itu lalu membentangkan sorbannya dan meletakkan batu ditengah-tengah sorban, lantas menyuruh seorang wakil masing-masing kabilah yang sedang bertengkar. Maka empat orang itulah yang mengangkat batu itu secara bersama-sama, lalu Muhammadlah yang memasang pada sudut Ka’bah dan terhindarlah adu senjata.
Kisah inilah yang mengilhami sebagian orang bahwa peletakan batu tertentu (misalnya batu pertama) pada suatu bangunan memiliki nilai yang sangat penting dan berharga karena menyangkut sejarah perjalanan kehidupan.
Kisah lain yang sangat penting adalah yang terjadi pada musim haji tahun 317 H, pada saat itu dunia Islam sangat lemah dan bercerai berai sehingga kesempatan ini dimanfaatkan oleh Abu Tahir Al-Qurmuhi seorang kepala suku Jazirah Arab bagian Timur untuk melampiaskan nafsu angkara murkanya, maka dengan keji ia bersama anak buahnya sebanyak 700 orang bersenjata perang mendobrak Masjid Al-Haram dan membongkar Ka’bah dan mengambil Hajar Aswad dengan paksa kemudian dibawa ke negaranya di kawasan Teluk Persia sekarang. Kemudian menantang umat Islam agar mengambil batu itu, boleh dengan perang atau dengan membayar sejumlah uang yang pada saat itu sangat berat bagi umat Islam. Baru setelah 22 tahun (tahun 339 H) batu itu dikembalikan ke Makkah oleh Khalifah Abbasiyah Al-Muthi’ Lillah setelah ditebus dengan uang sebanyak 30,000 Dinar.
Dalam kitab Ikhbarul-Kiraam diterangkan bahwa ketika Abdullah bin Akim (utusan Khalifah Al-Mukthi’ Lillah) menerima batu dari pemimpin suku Qurmuth itu langsung dimasukkan kedalam air dan tenggelam, kemudian diangkat dan dibakar ternyata pecah, maka ia menolak batu itu dan dinyatakan palsu. Dengan tenang pemimpin Qurmuth itu memberi batu yang kedua yang sudah dilumuri minyak wangi dan dibungkus dengan kain sutera yang sangat cantik. Namun Abdullah tetap melakukan seperti pada yang pertama, dan ternyata hasilnya juga seperti yang pertama, maka ia minta yang aslinya, dan oleh pemimpin suku Qurmuth itu diberikan padanya batu yang ke tiga. Tetapi oleh Abdullah batu inipun diperlakukan seperti yang sebelumnya, dan sungguh-sungguh luar biasa ternyata batu itu tidak tenggelam malah terapung di atas air, ketika dibakar tidak pecah bahkan tidak merasakan panas. Maka Abdullah dengan puas mengatakan, “Nah inilah dia, batu kita”. Dengan terheran-heran pemimpin Qurmuth bertanya,”Darimana anda dapat ilmu ini?”. Abdullah menjawab, “Nabi pernah mengatakan, Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah yang ada di bumi, pada hari kiamat nanti tampak memiliki mulut dan menyaksikan siapa-siapa yang pernah menyalaminya dengan niat baik atau tidak baik , tidak akan tenggelam di dalam air dan tidak panas dalam api”. “Inilah agama yang benar-benar tuntunan dari Allah (bukan produksi akal)”, demikian pemimpin Qurmuth itu berkomentar.
Kepada pemimpin Qurmuth ini Allah menurunkan siksa berupa penyakit yang tidak dapat disembuhkan sampai bertahun-tahun lamanya dan akhirnya semua persendiannya saling berlepasan, semacam penyakit lepra yang sangat parah, dan matilah dia.

MULTAZAM      
Kalau diartikan secara harfiyah, Multazam bermakna tempat yang amat diperlukan. Tetapi kalimat ini sudah menjadi nama tempat tertentu yaitu antara sudut Hajar Aswad dengan pintu Ka’bah. Tempat inilah yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai tempat yang paling mustajab untuk berdoa.

"Rasulullah SAW bersabda “Multazam adalah tempat berdoa yang paling mustajab (terkabul), tidak seorang pun hamba Allah yang berdoa di tempat ini tanpa terkabul permintaannya.”
Rasulullah sendiri kalau sampai di tempat ini langsung menempelkan dadanya, wajahnya atau pipinya, kedua lengan, dan kedua telapak tangannya pada Ka’bah dan meratap dalam berdoa.
Dalam kitab AKHBAR MAKKAH diterangkan bahwa ketika Nabi Adam selesai melakukan Thawaf (yang pertama kali) langsung ia lakukan shalat dua rakaat di depan pintu Ka’bah, terus berdiri di Multazam dan berdoa:

“Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui segala apa yang aku rahasiakan dan segala apa yang aku lakukan terbuka, terimalah pengaduanku. Engkau Maha Mengetahui apa yang ada di dalam jiwaku dan segala apa yang ada padaku, ampunilah segala dosa-dosaku. Engkau Maha Mengetahui segala apa yang aku perlukan, berikanlah kepadaku apa yang aku minta. Ya Allah aku mohon kepadaMu iman yang memenuhi hati dan keyakinan yang mantap benar sehingga menyadarkan aku bahwa tidak akan ada yang mencelakanku kecuali apa yang telah Kau pastikan untukku, dan menyadarkan aku sehingga aku rela atas apa yang Kau tetapkan untukku”
Setelah berdoa seperti di atas, Allah menurunkan wahyu kepadanya yang artinya, “Wahai Adam, kau telah berdoa dengan beberapa permintaan, aku penuhi semua permintaan itu. Dan siapa pun dari anak-anakmu yang berdoa dengan doamu itu, pasti aku hilangkan keresahan dan kesedihannya, dan aku kembalikan apa yang hilang dari padanya, dan aku cabut dari hatinya perasaan miskin, dan aku jadikan kaya dia dalam kenyataan, dan aku sukseskan perdagangan untuknya dari belakang dunia perdagangan, sehingga kekayaan dunia berdatangan kepadanya walaupun tanpa dia kehendaki”.

No comments:

Post a Comment