Setelah bertahun-tahun tinggal di Madinah, menghadapi berbagai tantangan, dan meraih sejumlah pencapaian, kaum muslimin Muhajrin masih teringat pada tanah kelahiran mereka, Makkah, termasuk Rosulullah SAW.
Satu ketika, saat sedang bermain-main dengan kedua cucunya, Hassan dan Hussein, Nabi SAW terlihat bersedih. Fatimah putrinya bertanya, mengapa ayahnya tampak berduka, bukankah beliau telah berhasil memenangi pertempuran dari orang-orang Quraisy dan sekutunya? Bukankah beliau telah berhasil menumpas Bani Quroidhoh? Bukankah belum pernah terjadi dalam sejarah Arab, suatu kemenangan sebagaimana kemenangan yang beliau raih?.
Melihat Rosulullah SAW diam dan berlinang air mata, Fatimah meninggalkan ayahnya dengan kedua cucunya. Dalam situasi seperti itu, tidak ada yang dapat menghibur beliau, selain kedua cucu beliau. Dari balik kamar, Fatimah mendengar kedua anaknya bertengkar, lalu terdengar tawa Nabi SAW. Kemudian, sang kakek melerai cucunya dan memberi nasihat.
Tak berapa lama, Nabi SAW keluar kamar, menemui Fatimah dan Ali sambil berkata, saat ini telah masuk bulan Dzulqoidhah, tiba saatnya musim haji. Ali menanggapinya dengan suka cita, mengemukakan kenangan tentang suasana Makkah di saat musim haji. Saat itu, Rosulullah mengambil keputusan untuk melaksanakan thawaf di Makkah, bertekad memasuki Makkah pada bulan Haji dengan para sahabatnya.
Niat untuk berhaji tersebut memang tidak terwujud tahun itu, tetapi Nabi SAW berhasil menyepakati perjanjian damai Hudaibiyyah dengan penguasa Makkah. Perjanjian yang kemudian mengantarkan ummat Islam berhasil menaklukkan Makkah dengan damai.
“MUHAMMAD THE MESSENGER”- Abdurrahman Asy-Syarqawi
No comments:
Post a Comment