Ramadhan merupakan bulan yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh
setiap individu Muslim, karena berbagai keistimewaan yang terkandung di
dalamnya. Ramadhan bukan saja “bulan bonus” yang menjanjikan penggandaan
pahala, penghapusan dosa-dosa masa silam dan jaminan masuk surga bagi
barang siapa yang berpuasa mengikut syari‘at. Tetapi Ramadhan turut
memberi kontribusi penting bagi pembangunan ekonomi umat. Berhasil
tidaknya pembangunan ekonomi umat, sangat dipengaruhi oleh dunia bisnis.
Apakah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan akan mempengaruhi aktivitas
bisnis? Jika ya, sejauh mana pengaruhnya terhadap dunia bisnis itu?
Legitimasi
Islam terhadap aktivitas bisnis baik dalam skop nasional maupun
internasional sebagai salah satu aktivitas penting dalam ekonomi
sebenarnya, telah terimplikasi dengan hadirnya bulan Ramadhan. Secara
lebih spesifik, ajakan untuk berdagang antarumat manusia dapat kita
rujuk pada anjuran Rasulullah saw yang menyarankan umatnya yang berpuasa
untuk berbuka puasa dengan buah kurma (berbagai jenis makanan yang
manis rasanya) dan dengan air putih. Rasulullah saw bersabda: Dari Anas
ra berkata: “Rasulullah SAW itu berbuka puasa sebelum melakukan shalat
Maghrib dengan memakan beberapa buah kurma basah, tetapi apabila tidak
ada kurma basah, maka berbuka dengan kurma biasa, dan apabila tidak ada
kurma biasa, beliau berbuka dengan meminum beberapa teguk air” (HR Abu
Daud dan Tirmizi) dan “Jikalau seseorang di antara kamu berbuka puasa,
maka hendaklah berbuka dengan kurma, tetapi apabila tidak menemukannya,
maka hendaklah berbuka dengan air, karena sesungguhnya air itu suci” (HR
Salman bin Amr ad-Dhahabi).
Kita ketahui bahwa, pohon
kurma hanya tumbuh subur dan berbuah lebat bila ditanam di
daerah-daerah tertentu, terutama di dunia Arab. Ini tidak berarti bahwa
tumbuhan ini tidak akan tumbuh bila ditanam di Indonesia. Ia akan tumbuh
subur, tapi mandul sepanjang masa. Konsekuensi logis dari fakta dan
takdir Tuhan ini adalah bagi siapa yang ingin berbuka puasa dengan buah
kurma, sedangkan ia tidak memilikinya atau bahkan buah kurma itu tidak
dihasilkan di negaranya, maka untuk memenuhi hajat tersebut haruslah
lewat perdagangan.
Kita di Indonesia yang ingin
memakan buah kurma, haruslah mengimportnya dari negara-negara produsen
sehingga berlakulah perdagangan internasional yang sifatnya mutualisme.
Negara pengekpor akan mendapat keuntungan mutlak dari hasil penjualan
kurma, sementara kita sebagai negara pengimport mendapat keuntungan
karena terpenuhinya hajat selera. Implikasinya adalah Ramadhan merupakan
tonggak dasar bulan perdagangan. Panduan dunia bisnis Islami secara
lebih terperinci termaktub dalam al-Quran al-Karim, sebagai rujukan
hidup totalitas umat Islam yang juga diturunkan pada malam Nuzul
al-Quran (QS al-Baqarah: 185), 17 Ramadhan pada tahun Kenabian (6
Agustus 610 Masehi).
Bisnis adalah aktivitas krusial
ekonomi yang telah mendapat legitimasi al-Quran sejak lebih dari 1.400
tahun yang silam. Allah berfirman: “...Allah SWT telah menghalalkan jual
beli (perdagangan) dan mengharamkan riba” (QS al-Baqarah: 275). Begitu
juga seperti ungkapan Rasulullah saw yang menyebutkan bahwa “Rezeki itu
datangnya dari dua puluh pintu. Sembilan belas pintu untuk pedagang, dan
hanya satu pintu untuk mereka yang memiliki keterampilan tangan”.
Artinya, 95% sumber rezeki manusia berasal dari dunia bisnis.
Pentingnya
perdagangan dalam mewujudkan kesejahteraan umat dapat disimak pada
sirah Rasulullah. Mayoritas penduduk Arab tempoe doeloe baik yang
bermastautin di Mekkah maupun di Madinah adalah para pedagang dan
distributor ulung. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri adalah pemimpin
kafilah dagang majikannya, Siti Khadijah ra yang kemudian menjadi
istrinya tercinta. Demikian pula, Abu Bakar Siddiq ra, Usman bin Affan
ra, dan Umar bin Khattab ra adalah pedagang kain dan pedagang jagung
yang disegani. Realitas ini memperkuatkan bahwa perdagangan adalah suatu
amalan yang sangat digalakkan Islam. Selain dapat meningkatkan
kesejahteraan, malah juga dapat mendongkrak martabat ekonomi umat di
kancah dunia internasional.
Dalam Islam, sebenarnya,
aktivitas perdagangan itu bermula pada proses komunikasi dan interaksi
atau menurut istilah al-Quran disebut dengan proses ta‘aruf”
(perkenalan).
Karena setelah terjadinya proses ta‘aruf antar
sesama umat manusia, maka diyakini akan wujud usaha-usaha “follow-up”
untuk lebih mempererat perkenalan yang telah dibina. Dengan terbinanya
komunikasi yang baik, maka berbagai kerjasama yang saling menguntungkan
(mutual cooperation), seperti aktivitas perdagangan akan terjadi. Amar
Islam agar umatnya saling kenal-mengenal dengan sesiapa saja tanpa
membedakan warna kulit, agama, suku, status ekonomi, dan perbedaan fisik
serta perbedaan keyakinan lainnya, dengan jelas termaktub dalam ayat
berikut: “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya Kami ciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Alah SWT ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu...” (QS al-Hujurat: 13).
Tidak
seperti orang kafir yang ingkar terhadap zat yang Esa, Allah SWT,
aktivitas bisnis umat Islam haruslah berlandaskan wahyu Ilahi dan
Sunnatullah. Inilah yang menyebabkan prilaku pebisnis Islami berbeda
dengan pebisnis sekuler. Orang kafir bebas melakukan bisnis mereka
mengikuti hawa nafsunya baik menyangkut jenis barang dan jasa yang
diperjual-belikan maupun cara dan proses bagaimana bisnis itu dilakukan.
Bagi mereka, hanya akal dan pengalaman hidup saja yang dijadikan
rujukan atau pedoman dalam berbisnis. Mereka tidak mempercayai wahyu
Ilahi, sebab substansi al-Quran itu bersifat abstrak (tidak dapat diraba
dan dirasakan dengan panca indera) dan tidak dapat dibuktikan secara
empiris. Akibatnya, pebisnis sekuler, sering kali, diarahkan oleh hawa
nafsu. Bila hawa nafsu dijadikan Komandan, maka wajarlah bila dalam
setiap dunia bisnis mereka akan selalu mementingkan diri sendiri
(selfisness) dengan orientasi untuk meraup keuntungan maksimum (maximum
profit oriented) semata-mata, dengan menghalalkan segala cara.
Bagaimana
keuntungan itu diraih? Apakah dalam usahanya untuk memperolehi
keuntungan tersebut ada pihak-pihak lain yang dirugikan? Semua persoalan
ini tidak terlintas, konon lagi dipikirkan mereka. Yang penting bagi
mereka adalah bagaimana keuntungan maksimum itu mesti diraih.
Sebaliknya, pebisnis Islami sangat menghargai kepentingan dan
kesejahteraan bersama (altruism). Pebisnis Islami berorientasi untuk
mencapai kesejahteraan maksimum (maximum welfare oriented) bagi seluruh
umat yang, pada gilirannya, akan mewujudkan tercapainya “falah”
(kebahagiaan dunia dan akhirat). Pebisnis Islami pantang meraih
keuntungan dengan cara memanfaatkan kelemahan orang lain, seperti
menipu, mengurangi timbangan, dan melakukan berbagai malpraktek lainnya
yang bertentangan dengan nilai-nilai Rabbaniyyah (QS al-Baqarah: 188
& 279).
Dalam mangejar keuntungan duniawi,
pebisnis Islami tidak dibenarkan mengabaikan bahagiannya di akhirat
kelak, dan sebaliknya. Keseimbangan (equilibrium) antara keduanya
merupakan keuntungan ideal yang harus direbut demi menggapai keridhaan
Ilahi. Keseimbangan antara usaha mencari rezeki dengan usaha menggapai
rahmat Ilahi, sangat jelas terekam dalam dalil naqli berikut: “Dan
tuntutlah dengan harta kekayaan yang dikaruniakan Allah kepadamu akan
pahala dan kebahagiaan hari akhirat dan janganlah engkau melupakan
bahagianmu (kebutuhan dan bekalanmu) dari dunia” (QS al-Qasas: 77); dan
“Sebaik-baik kamu ialah orang yang tidak meninggalkan akhiratnya karena
dunianya dan tidak meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak
bersusah payah hanya karena manusia, bukan karena Allah” (HR al-Khatib).
Last but not least, Ramadhan turut memberi kesempatan
seluas-luasnya bagi golongan ekonomi lemah (middle to lower classes),
untuk meningkatkan pendapatan mereka. Hal ini dapat kita lihat dari
menjamurnya penjaja kue dan pedagang kecil lainnya di hampir sepanjang
jalan baik di kampung maupun di kota menjelang beduk atau sirene
berbunyi, pertanda berbuka puasa tiba. Fenomena ini, tentunya, akan
mengurangi “gap” pendapatan antara kaum berada dengan golongan papa,
apalagi di suasana hari raya. Singkatnya, keseimbangan antara usaha
untuk meningkatkan amalan ibadat sebagai bekal di hari akhirat kelak dan
keuntungan (keberkatan) perniagaan sebagai bekal hidup di dunia ini
sangat mudah direalisasikan di bulan Ramadhan.
Agar
aktivitas bisnis tidak diarahkan oleh hawa nafsu, maka pebisnis Islami
harus berpedoman pada Kitabullah dan Sunnatullah. Namun bukanlah mudah
untuk dapat mengontrol hawa nafsu, selain dengan berpuasa. Ramadhan
adalah pengendali hawa nafsu, termasuk ketika berbisnis. Bila hawa nafsu
sudah terkendali, maka usaha-usaha untuk mencapai kebahagiaan di dunia
dan akhirat (falah) dengan mudah akan terealisir. Namun, “Andaikata
kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti akan rusak binasalah
langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya” (QS al-Mu‘minun: 71).
Ramadhan
adalah Pusat Kendali Hawa Nafsu (Pusliwasu). Keberhasilan individu
Muslim dalam mengekang hawa nafsu, dengan sendirinya, akan melahirkan
penganut Islam yang bermoral, beretika, dan ber-akhlaqul karimah sebagai
perwujudan dan bukti ketaqwaan mereka kepada Allah swt. Dalam melakukan
berbagai aktivitas, baik di masjid tatkala menyembah Allah maupun di
pasar ketika berniaga, seorang Muttaqien akan senantiasa berpedoman pada
aturan Ilahi. Setiap tindak tanduknya, dia berfungsi sebagai penabur
rahmat dan penolak bala bagi orang lain. Seorang pebisnis yang telah
meraih sebutan Muttaqien, hasil dari proses berpuasa di bulan Ramadhan
pasti akan bermoral dan beretika mulia, seperti jujur dan tidak
mengurangi timbangan ketika berbisnis. Muttaqien sadar bahwa
sesungguhnya “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (curang
dalam menakar dan menimbang). Yaitu orang-orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi.
Dan
apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi” (QS al-Muthaffifin: 1-3). Ini bermakna bahwa kesejahteraan
maksimal umat, sebagai tujuan akhir berniaga dalam Islam dengan mudah
dapat diwujudkan oleh para pebisnis Muttaqien. Untuk mencapai derajat
Muttaqien, maka berpuasa di bulan Ramadhan merupakan “the best way”.
Khatimahnya adalah selain mengandung hikmah ritual, berpuasa juga
mengandung hikmah ekonomi. Ramadhan mendorong umat Islam agar berperan
aktif dalam membudayakan bisnis Islami yang terbebas dari pengaruh hawa
nafsu dan bisikan syaithan. Akhirnya, pebisnis Muttaqien yang lahir
melalui proses berpuasa di bulan Ramadhan dengan mudah dapat mengangkat
kesejahteraan maksimal ekonomi umat.
“Mimpilah yang
ingin diimpikan, pergilah kemana kita ingin pergi, jadilah apa yang kita
inginkan, karena…Kita hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan
untuk mengerjakan apa yang kita inginkan…”
“Kita selalu mencari apa yang belum kita miliki, padahal kita tidak pernah menikmati apa yang kita miliki sampai sadar sesuatu yang kita miliki itu hilang dari kita…” (-:-Amanah Muslim -:-).
“Kita selalu mencari apa yang belum kita miliki, padahal kita tidak pernah menikmati apa yang kita miliki sampai sadar sesuatu yang kita miliki itu hilang dari kita…” (-:-Amanah Muslim -:-).
No comments:
Post a Comment