Monday, September 23, 2013

Ramadhan Ajarkan Perilaku Bisnis Islami




Ramadhan merupakan bulan yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh setiap individu Muslim, karena berbagai keistimewaan yang terkandung di dalamnya. Ramadhan bukan saja “bulan bonus” yang menjanjikan penggandaan pahala, penghapusan dosa-dosa masa silam dan jaminan masuk surga bagi barang siapa yang berpuasa mengikut syari‘at. Tetapi Ramadhan turut memberi kontribusi penting bagi pembangunan ekonomi umat. Berhasil tidaknya pembangunan ekonomi umat, sangat dipengaruhi oleh dunia bisnis. Apakah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan akan mempengaruhi aktivitas bisnis? Jika ya, sejauh mana pengaruhnya terhadap dunia bisnis itu?

Legitimasi Islam terhadap aktivitas bisnis baik dalam skop nasional maupun internasional sebagai salah satu aktivitas penting dalam ekonomi sebenarnya, telah terimplikasi dengan hadirnya bulan Ramadhan. Secara lebih spesifik, ajakan untuk berdagang antarumat manusia dapat kita rujuk pada anjuran Rasulullah saw yang menyarankan umatnya yang berpuasa untuk berbuka puasa dengan buah kurma (berbagai jenis makanan yang manis rasanya) dan dengan air putih. Rasulullah saw bersabda: Dari Anas ra berkata: “Rasulullah SAW itu berbuka puasa sebelum melakukan shalat Maghrib dengan memakan beberapa buah kurma basah, tetapi apabila tidak ada kurma basah, maka berbuka dengan kurma biasa, dan apabila tidak ada kurma biasa, beliau berbuka dengan meminum beberapa teguk air” (HR Abu Daud dan Tirmizi) dan “Jikalau seseorang di antara kamu berbuka puasa, maka hendaklah berbuka dengan kurma, tetapi apabila tidak menemukannya, maka hendaklah berbuka dengan air, karena sesungguhnya air itu suci” (HR Salman bin Amr ad-Dhahabi).

Kita ketahui bahwa, pohon kurma hanya tumbuh subur dan berbuah lebat bila ditanam di daerah-daerah tertentu, terutama di dunia Arab. Ini tidak berarti bahwa tumbuhan ini tidak akan tumbuh bila ditanam di Indonesia. Ia akan tumbuh subur, tapi mandul sepanjang masa. Konsekuensi logis dari fakta dan takdir Tuhan ini adalah bagi siapa yang ingin berbuka puasa dengan buah kurma, sedangkan ia tidak memilikinya atau bahkan buah kurma itu tidak dihasilkan di negaranya, maka untuk memenuhi hajat tersebut haruslah lewat perdagangan.

Kita di Indonesia yang ingin memakan buah kurma, haruslah mengimportnya dari negara-negara produsen sehingga berlakulah perdagangan internasional yang sifatnya mutualisme. Negara pengekpor akan mendapat keuntungan mutlak dari hasil penjualan kurma, sementara kita sebagai negara pengimport mendapat keuntungan karena terpenuhinya hajat selera. Implikasinya adalah Ramadhan merupakan tonggak dasar bulan perdagangan. Panduan dunia bisnis Islami secara lebih terperinci termaktub dalam al-Quran al-Karim, sebagai rujukan hidup totalitas umat Islam yang juga diturunkan pada malam Nuzul al-Quran (QS al-Baqarah: 185), 17 Ramadhan pada tahun Kenabian (6 Agustus 610 Masehi).

Bisnis adalah aktivitas krusial ekonomi yang telah mendapat legitimasi al-Quran sejak lebih dari 1.400 tahun yang silam. Allah berfirman: “...Allah SWT telah menghalalkan jual beli (perdagangan) dan mengharamkan riba” (QS al-Baqarah: 275). Begitu juga seperti ungkapan Rasulullah saw yang menyebutkan bahwa “Rezeki itu datangnya dari dua puluh pintu. Sembilan belas pintu untuk pedagang, dan hanya satu pintu untuk mereka yang memiliki keterampilan tangan”. Artinya, 95% sumber rezeki manusia berasal dari dunia bisnis.

Pentingnya perdagangan dalam mewujudkan kesejahteraan umat dapat disimak pada sirah Rasulullah. Mayoritas penduduk Arab tempoe doeloe baik yang bermastautin di Mekkah maupun di Madinah adalah para pedagang dan distributor ulung. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri adalah pemimpin kafilah dagang majikannya, Siti Khadijah ra yang kemudian menjadi istrinya tercinta. Demikian pula, Abu Bakar Siddiq ra, Usman bin Affan ra, dan Umar bin Khattab ra adalah pedagang kain dan pedagang jagung yang disegani. Realitas ini memperkuatkan bahwa perdagangan adalah suatu amalan yang sangat digalakkan Islam. Selain dapat meningkatkan kesejahteraan, malah juga dapat mendongkrak martabat ekonomi umat di kancah dunia internasional.

Dalam Islam, sebenarnya, aktivitas perdagangan itu bermula pada proses komunikasi dan interaksi atau menurut istilah al-Quran disebut dengan proses ta‘aruf” (perkenalan).
Karena setelah terjadinya proses ta‘aruf antar sesama umat manusia, maka diyakini akan wujud usaha-usaha “follow-up” untuk lebih mempererat perkenalan yang telah dibina. Dengan terbinanya komunikasi yang baik, maka berbagai kerjasama yang saling menguntungkan (mutual cooperation), seperti aktivitas perdagangan akan terjadi. Amar Islam agar umatnya saling kenal-mengenal dengan sesiapa saja tanpa membedakan warna kulit, agama, suku, status ekonomi, dan perbedaan fisik serta perbedaan keyakinan lainnya, dengan jelas termaktub dalam ayat berikut: “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Alah SWT ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu...” (QS al-Hujurat: 13).

Tidak seperti orang kafir yang ingkar terhadap zat yang Esa, Allah SWT, aktivitas bisnis umat Islam haruslah berlandaskan wahyu Ilahi dan Sunnatullah. Inilah yang menyebabkan prilaku pebisnis Islami berbeda dengan pebisnis sekuler. Orang kafir bebas melakukan bisnis mereka mengikuti hawa nafsunya baik menyangkut jenis barang dan jasa yang diperjual-belikan maupun cara dan proses bagaimana bisnis itu dilakukan. Bagi mereka, hanya akal dan pengalaman hidup saja yang dijadikan rujukan atau pedoman dalam berbisnis. Mereka tidak mempercayai wahyu Ilahi, sebab substansi al-Quran itu bersifat abstrak (tidak dapat diraba dan dirasakan dengan panca indera) dan tidak dapat dibuktikan secara empiris. Akibatnya, pebisnis sekuler, sering kali, diarahkan oleh hawa nafsu. Bila hawa nafsu dijadikan Komandan, maka wajarlah bila dalam setiap dunia bisnis mereka akan selalu mementingkan diri sendiri (selfisness) dengan orientasi untuk meraup keuntungan maksimum (maximum profit oriented) semata-mata, dengan menghalalkan segala cara.

Bagaimana keuntungan itu diraih? Apakah dalam usahanya untuk memperolehi keuntungan tersebut ada pihak-pihak lain yang dirugikan? Semua persoalan ini tidak terlintas, konon lagi dipikirkan mereka. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana keuntungan maksimum itu mesti diraih. Sebaliknya, pebisnis Islami sangat menghargai kepentingan dan kesejahteraan bersama (altruism). Pebisnis Islami berorientasi untuk mencapai kesejahteraan maksimum (maximum welfare oriented) bagi seluruh umat yang, pada gilirannya, akan mewujudkan tercapainya “falah” (kebahagiaan dunia dan akhirat). Pebisnis Islami pantang meraih keuntungan dengan cara memanfaatkan kelemahan orang lain, seperti menipu, mengurangi timbangan, dan melakukan berbagai malpraktek lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai Rabbaniyyah (QS al-Baqarah: 188 & 279).

Dalam mangejar keuntungan duniawi, pebisnis Islami tidak dibenarkan mengabaikan bahagiannya di akhirat kelak, dan sebaliknya. Keseimbangan (equilibrium) antara keduanya merupakan keuntungan ideal yang harus direbut demi menggapai keridhaan Ilahi. Keseimbangan antara usaha mencari rezeki dengan usaha menggapai rahmat Ilahi, sangat jelas terekam dalam dalil naqli berikut: “Dan tuntutlah dengan harta kekayaan yang dikaruniakan Allah kepadamu akan pahala dan kebahagiaan hari akhirat dan janganlah engkau melupakan bahagianmu (kebutuhan dan bekalanmu) dari dunia” (QS al-Qasas: 77); dan “Sebaik-baik kamu ialah orang yang tidak meninggalkan akhiratnya karena dunianya dan tidak meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak bersusah payah hanya karena manusia, bukan karena Allah” (HR al-Khatib).

Last but not least, Ramadhan turut memberi kesempatan seluas-luasnya bagi golongan ekonomi lemah (middle to lower classes), untuk meningkatkan pendapatan mereka. Hal ini dapat kita lihat dari menjamurnya penjaja kue dan pedagang kecil lainnya di hampir sepanjang jalan baik di kampung maupun di kota menjelang beduk atau sirene berbunyi, pertanda berbuka puasa tiba. Fenomena ini, tentunya, akan mengurangi “gap” pendapatan antara kaum berada dengan golongan papa, apalagi di suasana hari raya. Singkatnya, keseimbangan antara usaha untuk meningkatkan amalan ibadat sebagai bekal di hari akhirat kelak dan keuntungan (keberkatan) perniagaan sebagai bekal hidup di dunia ini sangat mudah direalisasikan di bulan Ramadhan.

Agar aktivitas bisnis tidak diarahkan oleh hawa nafsu, maka pebisnis Islami harus berpedoman pada Kitabullah dan Sunnatullah. Namun bukanlah mudah untuk dapat mengontrol hawa nafsu, selain dengan berpuasa. Ramadhan adalah pengendali hawa nafsu, termasuk ketika berbisnis. Bila hawa nafsu sudah terkendali, maka usaha-usaha untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) dengan mudah akan terealisir. Namun, “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti akan rusak binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya” (QS al-Mu‘minun: 71).

Ramadhan adalah Pusat Kendali Hawa Nafsu (Pusliwasu). Keberhasilan individu Muslim dalam mengekang hawa nafsu, dengan sendirinya, akan melahirkan penganut Islam yang bermoral, beretika, dan ber-akhlaqul karimah sebagai perwujudan dan bukti ketaqwaan mereka kepada Allah swt. Dalam melakukan berbagai aktivitas, baik di masjid tatkala menyembah Allah maupun di pasar ketika berniaga, seorang Muttaqien akan senantiasa berpedoman pada aturan Ilahi. Setiap tindak tanduknya, dia berfungsi sebagai penabur rahmat dan penolak bala bagi orang lain. Seorang pebisnis yang telah meraih sebutan Muttaqien, hasil dari proses berpuasa di bulan Ramadhan pasti akan bermoral dan beretika mulia, seperti jujur dan tidak mengurangi timbangan ketika berbisnis. Muttaqien sadar bahwa sesungguhnya “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (curang dalam menakar dan menimbang). Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi.

Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (QS al-Muthaffifin: 1-3). Ini bermakna bahwa kesejahteraan maksimal umat, sebagai tujuan akhir berniaga dalam Islam dengan mudah dapat diwujudkan oleh para pebisnis Muttaqien. Untuk mencapai derajat Muttaqien, maka berpuasa di bulan Ramadhan merupakan “the best way”. Khatimahnya adalah selain mengandung hikmah ritual, berpuasa juga mengandung hikmah ekonomi. Ramadhan mendorong umat Islam agar berperan aktif dalam membudayakan bisnis Islami yang terbebas dari pengaruh hawa nafsu dan bisikan syaithan. Akhirnya, pebisnis Muttaqien yang lahir melalui proses berpuasa di bulan Ramadhan dengan mudah dapat mengangkat kesejahteraan maksimal ekonomi umat.

“Mimpilah yang ingin diimpikan, pergilah kemana kita ingin pergi, jadilah apa yang kita inginkan, karena…Kita hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk mengerjakan apa yang kita inginkan…”

“Kita selalu mencari apa yang belum kita miliki, padahal kita tidak pernah menikmati apa yang kita miliki sampai sadar sesuatu yang kita miliki itu hilang dari kita…”
(-:-Amanah Muslim -:-).

No comments:

Post a Comment