Ia
sama sekali tak memiliki latar belakang pendidikan atau pengalaman di
bidang bisnis. Namun, ia mantap meninggalkan pekerjaannya yang cukup
mapan di perusahaan penerbangan demi mendapatkan kenyamanan beribadah.
Ir. Djoko Sasongko, alumnus teknik fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sudah 16 tahun terjun di bidang penerbangan. Pekerjaan mengharuskannya sering menetap di luar negeri. Tak dinafikan, limpahan materi ia terima. Dalam sebulan, misalnya, ia bisa menabung 100 juta rupiah. Namun, jiwanya tak tenang. Bekerja di negara di mana Muslim menjadi minoritas, membuatnya tak leluasa untuk beribadah.
Selain soal ibadah, sistem kontrak yang diterapkan perusahaan pun menimbulkan ketidakpastian posisi, karena sewaktu-waktu kontraknya bisa saja diputus. “Kalau saya punya penghasilan 10 juta rupiah per bulan, saya akan tinggalkan pekerjaan ini,” pikirnya, suatu ketika.
November 2003, Djoko dan istrinya, Ir. Hj. Prawestri mantap membangun bisnis dengan membuka toko perlengkapan Muslim bernama Amanah Muslim di Pasar Baru Trade Center, Bandung, Jawa Barat.
Meski hanya menempati kios berukuran 6,25 meter persegi dan menjual sedikit barang, ia tak ragu mendeklarasikan impiannya untuk membangun Amanah Muslim menjadi one stop shopping berbagai perlengkapan ibadah kaum Muslim dan mempromosikannya di media massa. Pada awal membangun bisnis, Prawestri-lah yang focus mengelola toko. Sedangkan Djoko masih bekerja di PT Dirgantara Indonesia dan sesekali bekerja di luar negeri.
Mencari Akhirat
Ir. Djoko Sasongko, alumnus teknik fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sudah 16 tahun terjun di bidang penerbangan. Pekerjaan mengharuskannya sering menetap di luar negeri. Tak dinafikan, limpahan materi ia terima. Dalam sebulan, misalnya, ia bisa menabung 100 juta rupiah. Namun, jiwanya tak tenang. Bekerja di negara di mana Muslim menjadi minoritas, membuatnya tak leluasa untuk beribadah.
Selain soal ibadah, sistem kontrak yang diterapkan perusahaan pun menimbulkan ketidakpastian posisi, karena sewaktu-waktu kontraknya bisa saja diputus. “Kalau saya punya penghasilan 10 juta rupiah per bulan, saya akan tinggalkan pekerjaan ini,” pikirnya, suatu ketika.
November 2003, Djoko dan istrinya, Ir. Hj. Prawestri mantap membangun bisnis dengan membuka toko perlengkapan Muslim bernama Amanah Muslim di Pasar Baru Trade Center, Bandung, Jawa Barat.
Meski hanya menempati kios berukuran 6,25 meter persegi dan menjual sedikit barang, ia tak ragu mendeklarasikan impiannya untuk membangun Amanah Muslim menjadi one stop shopping berbagai perlengkapan ibadah kaum Muslim dan mempromosikannya di media massa. Pada awal membangun bisnis, Prawestri-lah yang focus mengelola toko. Sedangkan Djoko masih bekerja di PT Dirgantara Indonesia dan sesekali bekerja di luar negeri.
Mencari Akhirat
Bukan tanpa alasan jika akhirnya Djoko membuka toko perlengkapan Muslim –terinspirasi oleh Raja Abdullah bin Abdul Aziz dari Arab Saudi yang mendapat gelar Khadimul Haramain (pelayan dua Tanah Suci, yakni Makkah dan Madinah)− maka ia pun ingin menjadi pelayan bagi saudara sesama Muslim yang ingin beribadah.
Oleh karena itu, ia menjual barang dengan harga relative murah sehingga terjangkau bagi konsumen. Dengan begitu, ia berharap bisa turut membantu kaum Muslim yang ingin beribadah. Melalui bisnis, ia tak hanya mencari dunia, tapi juga akhirat.
“Subhanallah, dengan membatasi profit yang lebih tipis, kemajuannya seperti berlari. Allah memberi banyak kemudahan yang kalau dengan hitunghitungan logika tidak nyambung. Bayangkan, yang semula targetnya hanya 10 juta, sekarang insya’ Allah apa yang saya capai (dulu) di luar negeri pun sudah mulai terjangkau. Semua ini tidak akan bisa, kalau bukan karena (izin) Allah,” ujar ayah dua anak ini.
Dari lima toko −yang menjual perlengkapan haji dan umrah, pakaian anak, busana Muslim dan toko buku− kini Djoko meraih omset sekitar 600 juta rupiah per bulan. Jatuh bangun dalam bisnis yang diperkirakan terjadi selama tiga tahun pertama, nyatanya hanya dalam waktu 1,5 tahun penghasilan bisnis Djoko sudah melampaui target 10 juta rupiah per bulan.
Untuk Agama Allah
Ketika membangun bisnis dengan bendera Amanah Muslim, Djoko menetapkan visi yang sangat penting, yakni ia ingin mendedikasikan penghasilan bisnisnya untuk agama Allah.
Ia percaya pada janji Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al Baqarah [2] ayat 245: “Barangsiapa yang member pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik maka Allah akan Melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizqi) dan kepadaNya-lah kamu dikembalikan.”
Pun, yang termaktub pada surah Muhammad [47] ayat 7, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Pada akhirnya, visi itu terefleksi dari berbagai upaya yang dilakukan Djoko dalam berbisnis. Selain menawarkan harga produk yang relatif murah, ia pun memenuhi janjinya untuk menolong agama Allah dengan selalu menyisihkan penghasilannya untuk bersedekah. Pun, memberangkatkan beberapa relasi untuk umrah. Tahun depan, Djoko berharap bias mengumrahkan karyawannya.
Bagi Djoko, membangun bisnis ia ibaratkan seperti membangun masjid. Ia harus membuatnya semegah mungkin dan bermanfaat bagi orang banyak. Berbeda halnya dengan rumah, ia memilih hidup sederhana. Karena prinsip Djoko, ia hanya menumpang hidup di dunia ini. Jadi, ia tak ingin menjalani gaya hidup yang tidak bisa ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah. “Karena itulah, hasil utama bisnis ini kami pakai untuk menolong agama Allah,” ujar pria yang lahir dari keluarga berada ini.
One Stop Shopping
Belasan tahun bekerja di industri penerbangan yang kompetitif dan inovatif, membuat Djoko datang ke dunia bisnis dengan persiapan matang. Ia membuat perencanaan bisnis dengan target dan langkah-langkah yang jelas agar bisa mewujudkan impiannya menjadikan Amanah Muslim sebagai one stop shopping center untuk keperluan ibadah kaum Muslim.
Kepada pengembang (developer), Djoko menggagas ide untuk menjadikan lantai empat di Pasar Baru berkonsep sentra perlengkapan Muslim. Salah satu cara untuk merealisasikan ide itu Djoko menyarankan diselenggarakannya pameran haji dan umrah di gedung tersebut dengan menggandeng beberapa pengusaha biro perjalanan haji dan umrah. Maka, blok yang semula menjadi area ‘mati’, perlahan mulai ‘hidup’.
Strategi Bisnis
Biasa bekerja sebagai karyawan dengan nilai penghasilan yang pasti setiap bulannya, membuat Djoko kaget menghadapi ketidakpastian pendapatan dalam bisnis. Oleh karena itu, ia coba membuat terobosan dengan mulai merambah bisnis perlengkapan haji dan umrah. Meski haji memang terbilang musiman, namun umrah berlaku sepanjang tahun.
Pertumbuhan ekonomi masyarakat menengah atas yang cukup pesat juga membuat umrah menjadi hal yang lazim dilakukan. “Kalau dulu konsumen yang belanja senilai satu juta rupiah ke atas itu jarang, sekarang sudah luar biasa banyak.” Ditambah lagi dengan antrean panjang ibadah haji membuat mereka yang tak sabar ingin ke Tanah Suci memutuskan untuk umrah terlebih dulu.
Agar memperoleh pendapatan yang tetap, Djoko juga menggagas ide menjadi loper koran. Djoko melihat tiga ribu pedagang yang ada di Pasar Baru sangat potensial untuk menjadi pelanggan surat kabar. “Kalau sepuluh persen saja dari mereka berlangganan maka ada pemasukan yang tetap. Sekarang bisnis loper Koran dipegang oleh karyawan dan hasilnya juga untuk mereka.”
Plan B
Meski terlihat bertolak belakang dengan latar belakang pendidikan dan profesi sebelumnya, Djoko mengakui dengan latar belakang berbeda itu ia justru mendapat banyak keuntungan. Pendidikan misalnya, berkontribusi memperluas wawasannya sehingga ia bisa melihat permasalahan sebagai potensi dan lebih siap menghadapi perkembangan ke depan.
Dari pekerjaannya di industry pesawat terbang selama belasan tahun, ia belajar menjadi pengambil risiko (risk taker) yang berani dan penuh optimisme. Tentu saja sikap optimistis yang juga dibarengi dengan ikhtiar dan perencanaan yang baik. Dari ilmu pesawat terbang, ia juga belajar tentang mendesain sistem dengan tingkat kegagalan yang minimal. “Jika ada sistem di pesawat terbang yang tak berfungsi maka pesawat akan celaka/jatuh. Dengan demikian, kita harus merancang sistem yang hamper tidak pernah gagal. Karena, kalau yang mutlak tak pernah gagal kan hanya Allah,” ujar pria kelahiran Blitar, 17 Mei 1960.
Akan tetapi, secerdas dan sehebat apapun manusia merancang sebuah rencana, hasil akhirnya Allah yang menentukan. Terbiasa mengandalkan logika, Djoko pernah alpa menyadari hal ini. Pada tahun 2011, rencana bisnis yang sudah ia rancang dengan matang nyatanya meleset dari perkiraan. Semua jurus sudah ia keluarkan, tapi tak juga bias mengatasi masalah. Hal yang terlihat mudah, malah menjadi sulit.
Jika biasanya ia hanya harus mengeluarkan plan B, ketika rencana pertama tak berhasil, kali itu semua rencana yang ia buat menghadapi jalan buntu. Akibatnya, ia stres bahkan sempat dirawat di rumah sakit. Dokter memberinya obat penenang, antimual, serta memberinya obat tidur. Sepulangnya dari rumah sakit, Djoko mulai menyadari semua yang menimpanya itu datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Saat itulah ia memutuskan untuk umrah. Ia ingin bisa lebih mendekatkan diri padaNya. Meski saat itu ia tengah kesulitan keuangan, anehnya tatkala berniat umrah, segalanya dimudahkan oleh Allah. Bisnisnya kembali berjalan lancar bahkan pendapatannya lebih banyak sehingga ia bisa membayar biaya umrah. Meski sudah pernah berhaji, umrah kali itu ia rasakan luar biasa nikmat.
“Saya menangis di depan Ka’bah. Padahal ketika haji, saya heran kok bisa orang menangis seperti itu di depan Ka’bah. Saat itu hati saya benar-benar tergetar. Saya lepaskan semua unekunek dan menyadari bahwa semua ini datangnya dari Allah. Saya ikhlas dan menerimanya. Setelah itu hingga kini kalau ada permasalahan dan ikhlas, semua akan jadi ringan,” tuturnya.
Membina Karyawan
Menduduki beberapa posisi strategis di perusahaan penerbangan membuat Djoko memiliki banyak anak buah. Namun diakuinya, ada perbedaan mendasar tatkala ia harus membina karyawan tokonya. Ia ingin menciptakan lingkungan kerja yang Islami. Maka, nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, disiplin, kerja sama tim, kebersihan dan kerapian, serta konsistensi pada visi bisnis selalu ia tanamkan pada karyawan. Djoko juga selalu mengingatkan karyawannya agar mereka senantiasa menabung kebaikan, serta tidak sekali pun mengambil sesuatu yang bukan hak mereka.
“Kalau standar yang umum kan karyawan sekadar menunaikan kewajiban, selesai. Kalau saya selalu menyarankan, berikan ekstra. Nanti Allah yang berhitung. Insya’ Allah, kelebihan itu akan dikembalikan oleh Allah. Gaji yang diterima pun akan menjadi berkah.” Diakui Djoko, hal itu pula yang ia lakukan ketika masih bekerja di PT Dirgantara Indonesia. Ketika perusahaan vakum karena kekurangan proyek, di saat karyawan\lainnya banyak yang bolos atau bermalas-malasan, ia malah tetap memperkaya diri dengan ilmu. Karena, ia ingin memberikan sesuatu yang lebih pada perusahaan. Hasilnya, setiap kali ada tugas di luar negeri, Djoko selalu terpilih untuk dikirim karena dinilai lebih siap.
Menurut Djoko, kini ia memang perlahan mulai menyerahkan operasional bisnis pada karyawannya. Dua sampai tiga tahun ke depan, istrinya juga akan meninggalkan keterlibatannya di Amanah Muslim. Karena itulah, Djoko tengah mempersiapkan sebuah sistem untuk karyawannya agar siap ditinggalkan sepenuhnya. “Saya punya obsesi untuk terjun ke bidang yang lain, yakni agrobisnis, sekalian pulang kampung ke Blitar,” ujar pria yang rutin menyelenggarakan pengajian untuk karyawannya setiap Jumat pagi.
Menurut Djoko, selama 10 tahun membangun bisnis, ia bersyukur pergerakannya relatif terus naik. Meski begitu, kata Djoko, dalam hidup ini tak cuma materi yang harus meningkat, tapi juga iman, takwa dan ilmu yang dimiliki. Karena, tak ada yang lebih ia inginkan selain menjadi insan yang selamat dunia dan akhirat.
Sumber: Majalah AuliaEdisi Oktober 2013